
Kalau kamu anak 2000-an yang doyan musik emo, post-hardcore, screamo, atau apapun yang berbau-bau “galau keras”, pasti pernah atau bahkan masih sering dengerin Saosin. Band asal Orange County, California, ini bisa dibilang salah satu pelopor wave besar post-hardcore modern yang ngeracunin anak-anak SMA zaman dulu lewat MySpace, CD bajakan, sampai mixtape buatan sendiri.
Saosin itu kayak salah satu band wajib masuk playlist buat yang lagi patah hati tapi gak mau nangis sendirian. Musiknya keras, emosional, tapi tetap melodik dan kadang terasa… hangat. Gak heran kalau sampai sekarang masih banyak yang setia dengerin mereka, meskipun band ini sempat gonta-ganti vokalis dan beberapa kali hiatus.
Asal Usul Nama dan Awal Berdirinya
Saosin dibentuk tahun 2003. Nama “Saosin” katanya diambil dari bahasa Tiongkok kuno (walau ini agak diperdebatkan juga sih). Intinya, “saosin” berarti “jangan terlalu melekat pada sesuatu karena itu bisa hilang kapan saja.” Dalam konteks band ini, rasanya cocok banget—karena fans mereka aja harus rela lihat perubahan besar dari awal berdiri sampai sekarang.
Pendiri awal Saosin antara lain:
-
Beau Burchell – gitar
-
Justin Shekoski – gitar
-
Zach Kennedy – bass
-
Alex Rodriguez – drum
-
Anthony Green – vokalis pertama
Yap, nama Anthony Green langsung jadi highlight. Karena suara tinggi dan emosionalnya bikin Saosin langsung beda dari band-band lain saat itu.
EP yang Meledak: Translating the Name (2003)
Saosin langsung meledak waktu mereka rilis EP legendaris Translating the Name. Lagu-lagu kayak Seven Years, 3rd Measurement in C, dan Lost Symphonies jadi anthem anak emo dan skena underground saat itu. Padahal mereka bahkan belum punya album penuh.
Anthony Green jadi bintang. Suaranya unik—tinggi, mendayu tapi tetap bisa scream dengan emosi yang raw. Tapi sayangnya, dia gak bertahan lama di Saosin. Cuma satu EP, lalu keluar karena alasan pribadi (katanya homesick, dan pengen fokus ke proyeknya sendiri, yang kemudian jadi Circa Survive).
Masuk Era Cove Reber: Album Debut yang Gak Kalah Gahar
Setelah ditinggal Anthony, Saosin gak bubar. Mereka rekrut vokalis baru: Cove Reber, yang masih muda banget waktu itu. Banyak fans awal sempat skeptis, tapi ternyata Cove juga punya warna suara sendiri—lebih stabil, powerful, dan cocok buat live performance.
Di tahun 2006, Saosin akhirnya rilis album penuh self-titled mereka, Saosin. Album ini langsung dapet perhatian luas. Lagu-lagunya kayak:
-
Voices
-
You’re Not Alone
-
I Never Wanted To
-
Sleepers
…langsung masuk ke dalam playlist harian anak-anak emo yang doyan headbang di kamar sambil nulis lirik galau di blog Friendster (ya, relate banget kan?).
Album ini secara musikal lebih rapih, lebih polished, tapi tetap mempertahankan rasa emosional dan berat khas post-hardcore. Cove juga ngasih nuansa yang beda dibanding Anthony. Mungkin bukan lebih baik atau lebih buruk, tapi “beda rasa aja”—dan ternyata banyak juga yang akhirnya suka dua-duanya.
“In Search of Solid Ground” (2009): Album Eksperimen
Tiga tahun setelah album pertama, Saosin rilis album kedua In Search of Solid Ground. Album ini terdengar sedikit lebih dewasa, lebih eksperimental, dan berani main di area yang lebih luas dari post-hardcore. Ada unsur rock alternatif yang lebih kental, dan lagu-lagunya terdengar lebih tenang di beberapa bagian.
Beberapa lagu yang cukup dikenal dari album ini:
-
Changing
-
On My Own
-
Is This Real
Sayangnya, setelah album ini, internal band mulai goyah lagi. Banyak drama soal arah musik, dan akhirnya Cove Reber juga cabut dari band. Fans sempat kehilangan arah karena dua vokalis utama mereka udah keluar. Saosin sempat vakum cukup lama dan cuma tampil di beberapa event.
Comeback yang Mengejutkan: Anthony Green Balik!
Setelah bertahun-tahun fans cuma bisa berharap dan berandai-andai, di tahun 2014, kabar mengejutkan datang: Anthony Green balik ke Saosin! Banyak yang gak percaya, tapi ini beneran terjadi. Reuni ini disambut hangat oleh fans lama yang kangen banget sama era Seven Years.
Akhirnya, di tahun 2016, mereka rilis album ketiga: Along the Shadow. Ini jadi ajang comeback Saosin dengan format awal mereka. Lagu-lagunya terasa lebih mentah, lebih emosional, dan kembali ke akar post-hardcore yang keras tapi jujur.
Beberapa lagu andalan:
-
Racing Toward a Red Light
-
The Silver String
-
Old Friends
Meskipun gak se-viral dulu, album ini tetap jadi bukti bahwa Saosin belum habis. Mereka masih punya taji dan bisa bersaing di era musik modern.
Gaya Musik dan Ciri Khas Saosin
Apa yang bikin Saosin beda dari band-band lain?
-
Vokal khas dan emosional, baik Anthony maupun Cove punya karakter kuat
-
Riff gitar progresif, gak cuma power chord, tapi penuh melodi
-
Lirik yang puitis dan personal, banyak ngomongin soal kehilangan, identitas, dan pertanyaan hidup
-
Energi live performance yang kuat, mereka dikenal solid saat tampil di panggung
Kenapa Saosin Masih Relevan?
Walau band ini udah gak seaktif dulu, Saosin masih relevan buat generasi lama dan baru karena:
-
Musik mereka emosional tapi tetap teknikal
-
Lirik-liriknya masih nyambung banget sama keresahan zaman sekarang
-
Mereka gak kejebak tren—tetap di jalurnya sendiri
-
Fans base mereka loyal, bahkan sampai sekarang masih terus ngebahas Saosin di komunitas
Saosin adalah contoh band yang berhasil ngasih warna berbeda di dunia post-hardcore. Mereka gak takut eksplorasi, gonta-ganti vokalis, dan tetap bikin musik yang punya nyawa. Dari era Anthony Green yang galau dan eksperimental, ke masa Cove Reber yang lebih stabil dan melodik, sampai akhirnya mereka reuni dan buktiin kalau musik gak mati, cuma berevolusi.
Buat kamu yang pengen nostalgia atau baru mau kenalan dengan Saosin, mulai aja dari Translating the Name, lalu lanjut ke album self-titled, dan nikmati perjalanan emosionalnya. Tapi hati-hati, begitu kamu masuk ke dunia Saosin, susah buat move on.