
Kalau lo lagi ngulik band-band grunge dari era 90-an, pasti lo bakal ketemu empat nama besar: Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, dan tentu aja, Alice in Chains. Nah, dari keempatnya, bisa dibilang Alice in Chains adalah yang paling kelam, paling berat, dan paling punya aura gelap—tapi justru di situlah daya tarik mereka. Band ini gak cuma ngomongin kemarahan atau pemberontakan, tapi juga luka, kehilangan, dan sisi tergelap dari hidup manusia.
Alice in Chains bukan tipe band yang tampil buat nyenengin pasar. Mereka hadir kayak bayangan hitam di balik gemerlap industri musik, dengan suara yang berat, lirik yang menyayat, dan karakter vokal yang khas banget. Dan meskipun mereka harus ngalamin tragedi besar, band ini tetap bertahan dan terus berkarya.
Awal Mula Alice in Chains: Dari Metal ke Grunge
Alice in Chains dibentuk di Seattle pada tahun 1987. Awalnya, mereka lebih dekat ke musik heavy metal, tapi karena tumbuh di lingkungan yang sama dengan scene grunge lainnya, musik mereka pun kebawa arus—meskipun tetap punya ciri khas tersendiri yang lebih gelap dan berat dibanding band grunge lain.
Formasi awalnya:
-
Layne Staley – vokal
-
Jerry Cantrell – gitar & vokal
-
Mike Starr – bass
-
Sean Kinney – drum
Perpaduan antara vokal Layne dan harmonisasi dengan Jerry jadi senjata utama Alice in Chains. Suara Layne yang melankolis dan serak-serak sakit hati itu bikin lagu-lagu mereka jadi punya rasa yang susah dijelasin… tapi gampang bikin lo tenggelam.
“Facelift” dan Ledakan “Man in the Box”
Album debut mereka, Facelift (1990), langsung bikin gebrakan. Lagu “Man in the Box” jadi anthem yang sering diputar di radio dan MTV. Riff gitarnya berat, groovy, dan unik. Dan vokal Layne? Duh, gak ada yang bisa nyamain tone dan emosinya.
Facelift berhasil ngasih identitas kuat buat Alice in Chains. Mereka gak sekadar band grunge biasa, tapi punya akar metal yang kuat, dengan nuansa doom yang bikin merinding. Bahkan sebelum Nirvana meledak, Alice in Chains udah mulai nyusup masuk ke radar musik mainstream.
“Dirt”: Album Paling Sakit Tapi Paling Jujur
Tahun 1992, mereka rilis album legendaris Dirt. Buat banyak fans, ini adalah karya masterpiece Alice in Chains. Lagu-lagunya ngomongin soal kecanduan, kematian, kehilangan, dan mental illness—semua disampaikan dengan kejujuran brutal. Album ini kayak luka terbuka yang gak ditutup-tutupi.
Beberapa lagu ikonik dari Dirt:
-
“Rooster” – tentang ayah Jerry Cantrell yang jadi tentara Vietnam. Liriknya dalem banget.
-
“Them Bones” – lagu pendek, tapi penuh energi dan kemarahan soal kefanaan hidup.
-
“Down in a Hole” – melankolis, penuh rasa hampa, dan menyayat hati.
-
“Would?” – dibuat untuk mengenang teman mereka, Andrew Wood (Mother Love Bone).
Album ini jadi salah satu simbol dari musik grunge yang paling autentik dan gelap. Gak heran Dirt sering masuk daftar album rock terbaik sepanjang masa.
Tragedi Layne Staley: Hancur Tapi Gak Runtuh
Sayangnya, kehidupan pribadi Layne Staley juga sekelam lirik-lirik lagunya. Ia mengalami kecanduan narkoba yang parah dan makin menarik diri dari dunia. Alice in Chains sempat vakum lama setelah tur dan rilis album self-titled mereka tahun 1995. Mereka kayak band yang menggantung di antara hidup dan mati.
Pada 5 April 2002, Layne ditemukan meninggal di apartemennya akibat overdosis. Sama seperti Kurt Cobain, kepergian Layne jadi pukulan besar buat scene musik 90-an. Tapi meskipun ia pergi, suaranya tetap hidup—dan terus dikenang.
Bangkit Bersama William DuVall
Setelah vakum cukup lama, banyak yang ngira Alice in Chains bakal tamat. Tapi tahun 2006, mereka bikin kejutan dengan kembali manggung bareng vokalis baru, William DuVall. Banyak yang skeptis, tapi ternyata DuVall gak berusaha jadi Layne 2.0. Dia bawa energi sendiri sambil tetap ngasih ruang buat spirit Layne terus hidup dalam musik mereka.
Album comeback mereka, Black Gives Way to Blue (2009), dapet respon positif banget. Lagu-lagunya tetap gelap, tetap nyentuh, dan tetap Alice in Chains. Mereka juga ngerilis The Devil Put Dinosaurs Here (2013) dan Rainier Fog (2018), nunjukin kalau mereka gak cuma hidup dari nostalgia.
Kenapa Alice in Chains Gak Bisa Diabaikan?
Alice in Chains adalah band yang berhasil nyatuin grunge, metal, dan doom dengan cara yang unik. Musik mereka bukan buat semua orang—dan itu justru bikin mereka spesial. Mereka gak pernah ikut arus, tapi malah jadi arus sendiri.
Sound mereka berat tapi emosional, riff-nya tajam tapi punya groove, dan harmonisasi vokalnya… ya ampun, itu sih ciri khas yang cuma mereka punya.
Lagu-Lagu Wajib Buat Pemula
-
Man in the Box
-
Rooster
-
Down in a Hole
-
Would?
-
Them Bones
-
No Excuses
-
Nutshell
-
Black Gives Way to Blue
-
Check My Brain
-
Rainier Fog
Alice in Chains, Sisi Gelap Grunge yang Terus Bersinar
Di tengah hiruk-pikuk dunia musik yang makin cepat dan instan, Alice in Chains tetap konsisten jadi band yang jujur, berani, dan relevan. Mereka gak cuma nyanyiin lagu—mereka nyeritain luka. Dan buat lo yang ngerasa sendirian, musik Alice in Chains bisa jadi pelukan hangat di malam-malam yang sepi.
Lo belum kenal grunge beneran kalau belum nyemplung ke dunia gelap tapi indah milik Alice in Chains.